Sunday, November 28, 2010

SBY-Sri Sultan HB X Diminta Mencari Titik Temu


YOGYAKARTA - Sosiolog Arie Sudjito menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mencari titik temu, bukan menciptakan kontroversi terkait status monarki provinsi tersebut.

Menurut Arie, negosiasi tentang wacana keistimewaan DIY seharusnya dilakukan dengan cara elegan, tidak gaduh sehingga memancing reaksi publik berlebihan.

“Keduanya (SBY-Sultan) harus menjaga diri, mengurangi tensi ‘bertarung’ dan mencari titik temu,” ujar Arie, kemarin.

Arie menekankan pentingnya pembahasan substansi keistimewaan. Seperti apa manfaat yang akan diperoleh rakyat daripada hanya ribut mempersoalkan mekanisme suksesi gubernur. “Saat ini baik Presiden maupun Sultan harus bisa menunjukkan sikap kebangsaan dan kenegarawanan. Di sinilah perlu kearifan dan kebijaksanaan,” imbuhnya.


Pada rapat kabinet dalam rapat kabinet terbatas, Presiden SBY mengingatkan tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi.

Pernyataan ini dibalas Sultan bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan Presiden. Menurut Sultan, Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain.

Sementara itu, Koordinator Kawula Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sigit Sugito mengatakan ada tiga aspek yang kurang dipahami Presiden SBY saat menyebutkan DIY itu monarki.
Sigit mempertanyakan sikap SBY yang bersikukuh dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dianggap demokratis.

“Pertanyaannya adalah, jika mayoritas rakyat DIY itu aspirasinya menginginkan penetapan tapi pemerintah pusat menginginkan pemilihan, apakah itu disebut demokratis? Justru itu malah tidak demokratis,” gugatnya.


Menurut dia, Presiden juga salah jika menyebutkan Sultan itu sebagai simbol monarki yang dianggap tidak sejalan dengan demokrasi. “Justru dalam kehidupan sehari-hari Sri Sultan sangat demokratis, sangat menghargai pluralisme dan keberagaman,” ungkapnya.

Paguyuban pamong desa se-DIY, baik yang tergabung dalam Paguyuban Dukuh Semar Sembogo maupun Paguyuban Kepala Desa Ismoyo menilai Presiden SBY tidak memahami kultur dan keinginan warga DIY. Hal itu terutama tampak pada pernyataan Presiden soal penolakan terhadap sistem pemerintahan monarki. Ketua Paguyuban Kepala Dukuh Se-DIY Semar Sembogo, Sukiman, menegaskan bahwa letak keistimewaan DIY justru berada pada proses penetapan, bukan pemilihan. Artinya, tidak benar jika DIY menganut sistem monarki dan bertentangan dengan UUD 45.


“Jika nantinya gubernur DIY dengan pemilihan, seluruh kepala dukuh di DIY menyatakan sikap tidak akan menjadi panitia pemilihan,” ancamnya.

Menanggapi polemik ini, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Vernando Wanggai membantah Presiden SBY tidak memahami kultur tatanan masyarakat, sosial budaya, sosiologis, dan konteks politik yang berkembang di Yogyakarta.

Menurut dia, Presiden SBY sangat memahami sistem kesultanan Yogyakarta. “RUU Keistimewaan DIY tidak akan mengurangi keistimewaan Yogyakarta, bahkan akan semakin menguatkan unsur istimewa yang dimiliki Yogyakarta. RUU Keistimewaan justru akan semakin memperkuat pengaturan posisi keraton. Keraton akan lebih strategis dalam konteks kelembagaan pemerintahan dan pembangunan daerah,” ujar Velix Wanggai.

Presiden SBY memahami posisi kultural dan warisan tradisi, dan selanjutnya diakomodasi dalam konteks sistem hukum dan demokrasi saat ini. Karena itu, pernyataan Presiden SBY perlu dimaknai sebagai upaya pengakuan dan penghormatan warisan tradisi, kekhususan, dan kebudayaan keraton dalam konteks demokrasi.

Velix menambahkan, sejak awal posisi pemerintah diletakkan dalam tiga visi besar, yaitu mengakui dan menghormati sejarah keistimewaan DIY, pilar NKRI yang diamanatkan dalam UUD 1945, dan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Keistimewaan Yogyakarta ini tidak hanya dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala daerah saja, tapi filosofi utamanya negara mengakomodasi prinsip keistimewaan Yogyakarta ke dalam sisi kewenangan yang luas dan kewenangan khusus, kelembagaan pemerintahan daerah yang menghargai warisan tradisi, keuangan daerah, kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang, serta kehidupan demokrasi lokal.


“Prinsipnya yaitu bagaimana mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang,” jelas alumnus UGM itu.

No comments:

Post a Comment