Sunday, November 28, 2010

Catatan Nestapa Pahlawan Devisa

Sumiati, TKI korban penyiksaan majikan

JAKARTA - Ingin mengubah nasib. Itulah secuil harapan di benak para tenaga kerja Indonesia yang rela terpisah jauh dari keluarga. Anak terpaksa meninggalkan orangtua, orangtua pun harus menyeberangi benua di antara lautan luas untuk meraih cita-cita itu.

Hidup layak dan status sosial di masyarakat terkerek dengan menyimpan pundi-pundi hasil jerih payah selama bekerja di luar negeri. Memang banyak kisah sukses dari TKI/TKW yang pulang kampung dengan banyak membawa duit. Tak ayal, sanak saudara dan tetangga ingin menapaki jejak yang sama. Sayangnya, bukan bahagia yang didapat melainkan nestapa.

Orangtua di kapung halaman akhirnya menitikan air mata manakala putri tercinta justru pulang dalam kondisi tak bernyawa. Sementara sang anak yang masih belia harus menyaksikan bundanya terkapar lemah penuh luka. Tak jarang pula, dari sebagian TKW ini kembali ke Tanah Air sudah tidak bisa mengenali dirinya sendiri, terlebih orang lain. Sadisnya penyiksaan yang didera mampu merontokan kesadaran sebagai manusia. Stres, gangguan jiwa, harga mahal yang harus mereka terima.

Sumiati misalnya, berangkat ke Arab Saudi demi mengumpulkan uang agar cita-citanya menjadi guru terwujud. Sedianya gaji sebagai TKI digunakan untuk membayar biaya kuliah kelak. Namun, belum sampai cita-citanya itu justru tubuhnya harus meregang sakit dihajar majikan.

Bibir sumbing karena digunting, kulit kepala terkelupas, tubuh disetrika, muka rusak, kaki lumpuh dan berbagai penderitaan lain, karena kejamnya perilaku majikan. Belum reda tragedi Sumiati, muncul lagi kasus yang tak kalah sadis. Kikim Komalasari, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, ditemukan meninggal di sebuah tong sampah.

Kembali, harga diri anak bangsa ini diinjak-injak dengan kasus penyiksaan TKW/TKI di luar negeri. Hanya sebagian kecil kisah pilu pahlwan devisa ini yang terekpos media massa. Entah siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya. Dibunuh, diperkosa, digunting, disetrika, dipukuli dan ditusuk oleh majikan asing. Kenapa tujuan mulia itu harus dibayar dengan perlakuan mirip zaman perbudakan?

"Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain." Apa yang dikatakan sastwan besar, Pramoedya Ananta Toer ini, mungkin banyak benarnya. Model perbudakan oleh bangsa Arab terhadap TKI/TWI menjadi fakta di depan mata. Sampai kapan stigma abadi atas nasib buruh migran Indonesia yang diperbudak si tuan asing dibiarkan?

Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan, jumlah TKI yang meninggal di luar negeri sepanjang 2009 mencapai 1.107 jiwa. Angka itu menunjukkan kenaikkan 124 persen dibandingkan angka kematian TKI tahun sebelumnya, 494 jiwa. Sementara itu, angka kematian TKI pada 2007 mencapai 2.081 jiwa. Adapun sepanjang 2010, Migrant Care mencatat 908 kasus penyiksaan terhadap TKI hingga meninggal. Direktur Migrant Care Anis Hidayah mengatakan untuk jumlah total dari berbagai jenis masalah yang dialami buruh migran mencapai 45.845 kasus.

Tidak hanya itu saja kasus PHK sepihak dan tidak digaji mencapai 8.080, ABK yang disiksa oleh pengusaha perkapalan asing 13, hilang kontak 17.
Sementara itu ABK Indonesia yang tengah menghadapi persoalaan hukum di Australia ada 328, penganiayaan 1.187, sakit saat bekerja 3.568, pelecehan seksual 874, disiksa di penjara 281, underpayment 631.

Dari serpihan catatan kekerasan tersebut yang kemungkinan besar akan terus berulang seyogianya membuka mata negara untuk mengurus persoalan TKI secara komprehensif dan profesional. Sebab, selain harga diri yang dilecehkan juga menyangkut nyawa anak bangsa. Pemeritah jangan lepas tangung jawab dalam melindungi warga negaranya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan BNP2TKI harus memperjuangkan hak-hak TKI dan perlindungan HAM dengan mengikat kerja sama bilateral maupun internasional, sehingga kasus Kikim atau Suamiati tak terulang. Juga butuh tindakan cepat dan tegas dari pemerintah.

Indonesia tidak perlu malu belajar ke negara tetangga, Filipina. Sebab, Filipina sangat komitmen melindungi pekerja asal negaranya yang bekerja di luar negeri atau overseas Filipino workers. Aturan rekrutmen sampai pemulanmgan kembali pekerja migran itu ke nengaranya sangat ketat dan tidak ada pihak yang berani melanggar. Komitmen tersebut ditunjukan, dengan menempatkan atase perburuhan di seluruh negara penerima pekerja migran Filipina. Semua pekerja yang terdaftar di agen, terus dipantau kegiatannya.

Bahkan, seperti menjadi satu ritual, menjelang Natal setiap tahun, siapa pun presidennya pasti menjemput pahlawan devisa tersebut di Bandara Ninoy Aquino Manila. Bagaimana dengan Indonesia? Mimpi kali ye! Pastinya, sebelum keadilan dan kesejahteraan di negara yang kaya sumber daya ini diwujudkan, tentunya Kikim atau Sumiati lainnya akan nekat merantau untuk mengubah nasib walau sebatas "babu" yang bergelar pahlawan devisa.

Tidak miriskah kita terus membuka lembaran demi lembaran cerita nestapa dari TKI/TKW?

No comments:

Post a Comment